KONGLOMERAT HITAM : ANDA BENAR, MR. LEE HSIEN LOONG !
Dimuat dI Harian Republika (Jakarta), 20/3/2004
“Singapura bukan tempat sembunyi konglomerat hitam !”. Itulah penegasan Yang Mulia Deputi Perdana Menteri singapura Lee Hsien Loong. Saya sangat berpendapat dan salut atas kejujuran beliau. Faktanya memang para konglomerat perampok BLBI/uang rakyat Indonesia yang berada di Singapura tidak perlu bersembunyi.
Mereka bisa hidup tenang, tidur nyennyak dengan mimpi indah berleha-leha (Mandarin : tiong-tiong), kongkow-kongkow di kafe atau di hotel supermewah.
Bahkan, seorang pembunuh penjudi Hong Lie konon juga pernah ngendon dengan tenang di sana, sampai-sampai seorang jenderal Polri sangat kesal menyatkan, “Polisi sangat sulit menangkap Hong Liue”
Kalau saja mereka di negara lain, mungkin mengalami nasib sama dengan laupan BHS Bank (engkohnya Eddy Tanzil) yang ditangkap polisi federal Australia. Masuk akal pula kalau terdakwa pembobol Bank BNI Jakarta, maria Pauline Lomuwa, memilih tinggal di Singapura daripada pulang kampung ke negeri Belanda yang mungkin nasibnya bisa lain.
Aneh dan bernuansa basa basi pernyataan Mr. Lee, kalau untuk mempelajari naskah perjanjian ekstradisi yang sudah baku dan banyak diterapkan oleh antarnegara di dunia memerlukan waktu tiga tahun masih belum selesai.
Hal tersebut berkaitan dengan pernyataan/pengakuan Firs Secretary Kedubes Singapura Mr. Low Pit Chen tiga tahun yang lalu bahwa Pemerintah Indonesia telah menyerahkan salinan naskah perjanjian ekstradisi kepada Pemerintah Singapura. Apalagi mengingat peringkat (ranking) Human Development Index (HDI) Singapura paling unggul di ASEAN, bahkan di Asia.
FS Hartono
Yogyakarta
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 9/4/2004
------------------------------------------
SEBUTAN SANGAT MENUSUK PERASAAN
Dimuat di Harian Suara Pembaruan (Jakarta), 29/2/2004
Dalam acara Bincang Pagi di layar Metro TV tanggal 21 Januari 2004 bertajuk Tionghoa Eksklusif, seorang narasumber Mayling Oey Gardiner, yang menyatakan dirinya berpendidikan sangat tinggi, berkeberatan dengan sebutan Cina dengan alasan sangat konotatif.
Berkaitan dengan pendapaat di atas, timbul pertanyaan : bagaimana dengan sebutan/julukan Fan Qui yang sering digunakan oleh masyarakat Tionghoa khusus untuk orang pribumi termasuk saya ?
Sebutan di atas bukan hanya bermakna konotatif, tetapi sangat merendahkan derajat manusia sebagai mahluk Tuhan, karena secara harafiah Fan Qui berarti manusia setan/iblis. Sebutan di atas hampir selalu saya dengar setiap kali saya berada di pusat pertokoan di Jakarta (Glodok, Harco, Roxi Mas) dan di Sumatera. Bahkan ada sebutan khusus untuk golongan pribumi yang menyamakan dengan binatang.
Pengalaman saya pribadi terjadi di Jambi pada tanggal 6 Februari 1996 di sebuah toko penjual pernak-pernik dari keramik. Ketika saya sedang minta penjelasan sebuah guci antik kepada seorang pramuniaga, seorang perempuan mungkin pemilik toko (Mandarin : Laupannyang) dengan nada kesal berucap : Pu’kuan ta ken nake ti-ko ! yang secara harafiah maknanya : Jangan ladeni/peduli sama itu babi-anjing !
Saya banyak catatan pribadi dari ungkapan yang tidak bersahabat, karena saya bisa berbahasa tutur Mandarin.
Tujuan tulisan ini agar pandangan masyarakat utuh, tidak berat sebelah, dan memenuhi makna cover bothside.
Saran kepada narasumber yang sangat intelek di atas agar sebelum berkomentar sebaiknya melakukan penelitian mendalam dan komprehensif, sehingga tidak terjebak ke dalam makna ucapan bijak orang Belanda, Hij denk’t allen zo ver vooreit net alsneus lang is.
FS Hartono
Yogyakarta
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 9/4/2004