<$BlogRSDUrl$>

F.S. Hartono

Yogyakarta/Warga Epistoholik Indonesia

Tuesday, December 09, 2003

-------------------

PERILAKU PREMAN SEORANG MENTERI
Dimuat di Harian Bernas, 21/11/2003


Begitu berdiri langsung dengan emosional mendorong secara kasar bahu kiri Danang narasumber dari ICW yang masih duduk karena acara belum ditutup. Itulah perilaku Menakertrans Jacob Nua Wea dalam acara tayangan keberadaan Konsorsium Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.

Saya selalu mengikuti program tayangan tersebut, disamping topiknya menggelitik juga para pembahas sangat argumentatif hingga menambah luas wawasan. Tetapi dalam tayangan di atas hanya karena seorang nara sumber acaranya rusak tidak menarik bahkan menurut saya memuakkan.

Betapa tidak, kalau narasumber dari ICW mempersoalkan kelayakan dan legalitas pembentukan konsorsium TKI berdasarkan temuan di lapangan dan kejanggalan dokumen terkait jawaban/tanggapan sang Menteri tidak argumentatif, tidak menukik pada materi yang diajukan, bahkan ada kesan kedodoran bernuansa emosional.

Beberapa kali (saya catat tiga kali) Menakertrans hanya mengutarakan pernah pihak asuransi memberi santunan kematian dan membayar gaji yang tidak dibayar majikan kepada TKI, yang tidak ada kaitannya dengan pokok bahasan.

Akhirnya terjadilah adegan brutal di atas yang menurut saya hanya layak sebagai perilaku seorang preman. Berdiskusi adalah adu otak, bukan adu otot, dan saya sudah berpengalaman puluhan tahun.

Sedikit tertolong, acara amburadul tersebut dipandu oleh seorang sangat piawai di bidangnya, Desi Anwar.


F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


-------------------

UNTUK SAHABATKU COPET, JAMBRET, MALING
Dimuat di Harian Lampung Post, 17/1/2003


Di bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini, selayaknya kalau kita lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik dan melakukan segala perbuatan yang diridai-Nya.

Namun, fenomena selama ini malah sebaiknya. Di bulan puasa, tingkat tindak kejahatan selalu meningkat pesat.

Mumpung belum terlambat, melalui kolom ini saya mengajak teman, sahabat dan rekan saya para maling, copet, penjambret di jalanan/di angkutan umum, juga para maling berdasi dan ber-HP di gedung ber-AC, agar libur/menghentikan kegiatannya demi ketenangan saudara kita yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Hendaknya di bulan Ramadan ini, kita bercermin diri dan melakukan fit and proper test terhadap diri kita sendiri, khususnya perilaku fitnah yang jelas bukan perbuatan kesatria dan jauh dari sifat agamis. Terngiang nasehat para sahabat karib di Lampung agar saya tahu diri. Dan pada 7 Juli 1997, saya tambahkan untuk saya sendiri agar juga tahu malu.

Marilah kita bersaing meningkatkan takwa kita kepada Allah SWT. Yakinlah niat baik kita pasti mendapatkan taufik dan hidayah-Nya.


F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


------------------

Bapak F.S. HARTONO (Yogyakarta), Surat Bapak yang kedua, mengagumkan. Epistoholik Indonesia mengucapkan terima kasih untuk wawasan yang Anda berikan !

“Pertama-tama ijinkan saya menyampaikan ungkapan terima kasih atas perhatian serta tanggapan terhadap surat terdahulu. Semoga melalui surat, kita bisa berlanjut bertukar pikiran, saling asah saling asuh, khususnya (mengenai) keadaan bangsa dan ngara kita yang kian amburadul ini dan (kita) juga (bisa) bersilaturahmi”, demikian tulis Pak Hartono (1/11/2003).

Selanjutnya Pak Hartono memberitahukan bahwa dirinya terhimpun dalam DKR (Dewan Pembaca Rakyat Merdeka), kumpulan penulis di kolom khusus Suara Rakyat Merdeka di Harian Rakyat Merdeka.

“Saya tahu betul selera redaktur koran-koran nasional, hingga tahu benar kemana tulisan saya sebaiknya saya kirim sesuai nadanya. Analisis halus, sindiran tajam bergaya banyolan atau bernada agak bringas”.

Dalam suratnya, dilampirkan surat pembaca Pak Hartono yang pernah dimuat di Koran Rakyat Merdeka (28/09/1999) yang pernah dialihbahasakan ke tulisan mandarin di koran bertuliskan huruf Cina, Harian Indonesia (19/10/2000), juga pernah diulas di majalah INTI (Himpunan Tionghoa Indonesia).

Isinya menarik, yaitu pertanyaan kepada warga keturunan Tionghoa, karena menurut sepengetahuan Pak Hartono, kalau mereka sedang berkumpul antarsesamanya terkadang terlontar ucapan berbahasa Tionghoa yang intinya merendahkan kaum bumi putra.

“Bahkan sejak tulisan saya tersebut (dimuat), saya banyak dapat tanggapan surat/telepon dari banyak tokoh. Termasuk seorang anggota DPA-RI (yang baru saja dibubarkan). Tetapi ada juga surat kaleng yang berisi caci maki”, tulis Pak Hartono.


Catatan Bambang Haryanto, pengelola Epistoholik Indonesia. Alamat situs EI : http://epsia.blogspot.com / E-mail : epsia@plasa.com


Terima kasih, Pak Hartono. Suatu kehormatan bahwa EI mendapatkan perhatian dari Bapak. Beliau yang mampu bertutur bahasa Mandarin, beberapa kosa kata bahasa Khek dan Tiongcu ini, dan sangat memahami karakter dan selera redaktur koran-koran nasional, jelas merupakan sosok sumber pengetahuan yang sangat berguna bagi kita semua warga Epistoholik Indonesia.

Suatu saat, kita akan “todong” beliau agar bersedia menularkan ilmunya yang satu ini. Bukankah begitu, Pak Hartono ?

Di bawah ini kita tampilkan surat pembaca Bapak F.S. Hartono yang menarik tersebut. Dengan catatan : pemuatan, isi dan konsekuensi atau pun dampak dari informasi tersebut di luar tanggung jawab Epistoholik Indonesia (BH).


--------------

PERUBAHAN NILAI DAN KEMEROSOTAN MORAL
Tak ada data media dan juga data tanggal pemuatan.


Saya sangat terkesima ketika menyaksikan televisi yang menayangkan wajah-wajah penuh kegembiraan para penjarah bekas bongkaran sebuah gudang tua di Jakarta. Gambaran wajah para penjarah itu jelas menggambarkan bahwa mereka sama sekali tidak merasa telah melakukan perbuatan yang salah, yang merugikan orang lain.

Saya berpendapat apa pun alasannya, perbuatan itu jelas melanggar hukum karena melawan hak, atau istilahnya pencurian dengan pemberatan.

Mengingat penonton televisi meliputi semua tingkat sosial dan umur dari masyarakat termasuk anak-anak dan remaja, saya khawatir kalau budaya pembenaran penjarahan ini akan menjadi contoh dan diteladani oleh kelompok-kelompok masyarakat kita.

Gejala ini sudah kita saksikan mulai dari kota besar, kota kecil bahkan sampai ke desa-desa yang di zaman saya masih kecil, penduduknya sangat tabu dan malu melakukan perbuatan yang melanggar kaidah tata kerama serta norma yang berlaku.

Mumpung belum membudaya dan parah, barangkali ada baiknya kalau para pakar hokum, aparat keamanan, bersama-sama dengan para sosiolog, kriminolog serta pemuka agama segera mengatasi penyakit masyarakat kita ini.

Sungguh tak terbayangkan dan sangat mengerikan kalau sampai hal ini tidak teratasi. Apakah kita akan menjadi “bangsa penjarah” yang melakukannya dengan penuh canda ria tanpa merasa berdosa ?

Semua ini, apakah perubahan nilai atau kemerosotan moral ?



F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


---------------------

ISTILAH CINA DAN TIONGHOA
Dimuat di Harian Rakyat Merdeka, 28/9/1999


Pembahasan istilah Cina dan Tionghoa menggelitik benak saya, mengingat masalah tersebut sampai dibawa dalam dialog bernuansa politik “Asimilasi versus Intergrasi” yang diselenggarakan oleh Institut Persatuan Etnis dan Ras di Indonesia di Surabaya.
Bahkan Yusuf Hamka menuntut agar istilah Cina diganti menjadi suku Tionghoa dengan alasan kata Cina mengandung kesan sinis.

Pertanyaan saya, apa dan bagaimana pendapat saudara suku Tionghoa yang menggunakan istilah fan-qui yang arti harfiahnya manusia setan (qui = setan) terhadap pribumi ?

Bahkan di Medan, Jambi dan Riau sering saya dengar ungkapan ti-ko yang dalam percakapan sehari-hari berarti babi-anjing. Pernah ketika saya masuk di salah satu toko di Tanjungkarang, Lampung, yang sedang banyak pengunjungnya saudara-saudara keturunan Tionghoa, terdengar pemilik (pramuniaga ?) nyeletuk : Nimen shiausin, yo nake couw qui. Maknanya, “Kalian hati-hati, ada setan busuk/jahat”.

Ungkapan-ungkapan sinis (pinjam istilah Yusuf Hamka) semacam itu sering saya dengar setiap kali berkunjung ke daerah Pecinan, khususnya di Jakarta dan luar pulau Jawa. Saya bisa menangkap makna perbincangan itu, karena dapat berbicara tutur bahasa Mandarin dan beberapa kosa kata bahasa Khek dan Thiocu.

Ada pengalaman yang tak mungkin saya lupakan. Ketika saya baru menikah dengan perempuan keturunan Tionghoa generasi kedua dari imigran berasal dari dataran Cina, langsung istri saya dikucilkan oleh golongannya Tionghoa. Mereka menganggap istri saya turun derajatnya karena bersuamikan seorang fan-qui.

Pengalaman dan sejarah hidup pribadi ini saya ungkapkan semata-mata bertujuan agar masalahnya menjadi berimbang dan fair. Jangan hanya berkutat mempermasalahkan istilah Cina dan Tionghoa melulu ; lain maksud tidak ada.

Khusus untuk Dede Oetomo (yang saya kenal beliau bergelar doktor dari universitas terkenal di USA) cs, paparan saya ini hendaknya dapat dijadikan acuan pendalaman permasalahan. Saya yakin sebagai ilmuwan anda pasti berpola pikir fair dan obyektif. Saya siap menjadi nara sumber kalau ada pertemuan atau seminar masalah ini.


F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


------------------

Bapak F.S. HARTONO (Yogyakarta), Epistoholik Indonesia mengucapkan terima kasih untuk kiriman surat Anda. Prestasi, reputasi dan gaya menulis dari contoh surat pembaca yang Bapak lampirkan, membuat kami tidak mampu menolak Bapak untuk menjadi warga terhormat di EI.

Surat pertama Bapak F.S. Hartono.

“Setelah membaca dan mencermati makna tulisan Anda bertajuk “Penulis Surat Pembaca, Bergabunglah !” di kolom Bebas Bicara surat kabar Bernas tanggal 18/10/2003, paling tidak saya merasa tertarik”.

“Hingga sekarang sudah puluhan tahun saya keranjingan menulis uneg-uneg apa saja yang saya rasakan sendiri atau hasil temuan saya di lapangan atau di tengah masyarakat, atau bahkan menanggapi tulisan orang.”

“Hingga sekarang tulisan saya telah terhimpun ratusan yang pernah dimuat di hampir seluruh media cetak terkemuka, nasional mau pun koran daerah. Malah ada yang dialihbahasakan ke dalam tulisan Mandarin”, demikian tulis Bapak F.S. Hartono dalam suratnya tertanggal 19/10/2003.

Surat perkenalan beliau yang saya terima 23/10/2003 itu menarik. Beliau lampirkan pula fotokopi surat-surat pembaca beliau (di bawah ini) yang pernah dimuat di harian Majalah Tempo, Media Indonesia dan di harian Kedaulatan Rakyat. Pemuatan, isi dan konsekuensi atau pun dampak dari informasi tersebut di luar tanggung jawab Epistoholik Indonesia (BH).


------------------



MENYOAL CALON PRESIDEN YANG S-1
Dimuat di Harian Media Indonesia, 27/4/2003


Syarat menjadi calon presiden mau pun wakilnya, yang utama sebaiknya harus arif dan bermoral. Bukan generasi S-1 atau es teler. Arif dan bermoral adalah sifat pemimpin yang didamba rakyat saat ini dan hal itu masih merupakan barang langka.

Pendapat saya, persyaratan capres harus bergelar S-1 hanya merupakan sifat bangsa kita yang tidak ksatria senang menjegal orang lain dengan segala cara. Fakta sejarah membuktikan, bukannya gelar akademik yang penting. Tapi manusia bermoral dan penuh pengabdian tanpa pamrih, yang bisa membawa kesejahteraan bangsa dan negara.

Abraham Lincoln hanya berpendidikan SD (Sekolah Dasar) tapi mampu berhasil membawa bangsa Amerika menjadi bangsa besar dan disegani dunia. Roh Mo Hyun presiden Korea Selatan sekarang, hanya lulusan SMU, tapi mampu mengantarkan bangsa dan negaranya sejajar dengan negara-negara maju lainnya di dunia dan jauh lebih dalam segala hal baik daripada kita.

Almarhum Adam Malik negarawan kita yang hanya mengenyam pendidikan HIS (Hollands Inlands School), tetapi sangat disegani politisi internasional. Bahkan pernah dipercaya sebagai Ketua Majelis Umum PBB, suatu jabatan yang sangat terhormat.

Juga almarhum Soedjatmoko, walau pun DO dari Geneeskundige Hooge School (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran) Jakarta, tetapi tingkat kemampuan intelektual beliau siapa yang meragukan ? Apalagi bila kita lihat karya buku-bukunya yang sangat ilmiah dan bermutu. Bahkan pengakuan dunia membuktikan dengan diangkatnya dia sebagai Rektor Universitas PBB.

Sayang, akhir-akhir ini justru bangsa kita, mulai para elite, paranormal, para preman, sampai penjual ayam goreng, melecehkan bangsa sendiri dengan membeli gelar cepat saji (instan), doctor honoris causa. Yang konyol bahkan ada yang tidak malu mencantumkan kata professor di depan namanya, walaupun tidak pernah mengajar di Perguruan Tinggi.

Padahal sebutan professor bukanlah gelar akademik, tetapi merupakan jabatan di jajaran di perguruan tinggi, berdasarkan SK yang maknanya adalah Guru Besar, Hoogleraar (Belanda), University teacher of the High Grade (Inggris).

Pantas data UNDP terakhir kedudukan Human Development Index (UDI) Indonesia sudah sangat merosot keperingkat ke-112, di bawah Vietnam, bahkan Tunisia dan Afrika Selatan. Sedangkan Singapura menduduki peringkat ke-29. Sangat menyedihkan dan memalukan.


F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


---------------------

YANG ARIF DAN BERMORAL TIDAK HARUS S-1
Dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 20/4/2003


Itulah dambaan rakyat terhadap pemimpin masa depan bangsa yang hingga saat ini belum muncul. Adanya wacana persyaratan capres harus bergelar S-1 hanya menunjukkan ingin menjegal lawan politik secara tidak ksatria bahkan mengarah sikap paranoid.

Fakta sejarah telah menunjukkan telah membuktikan bukannya gelar akademik tetapi manusia arif bermoral serta penuh pengorbanan tanpa pamrih yang berhasil menjadikan bangsa dan negaranya sejahtera.

Abraham Lincoln yang hanya berpendidikan SD (Sekolah Dasar) mampu berhasil membawa bangsa Amerika menjadi bangsa besar dan disegani dunia. Roh Mo Hyun presiden Korea Selatan sekarang, hanya lulusan SMU berhasil mengantar bangsa dan negaranya sejajar dengan negara-negara maju di dunia jauh lebih baik dari kita dalam segala hal.

Almarhum Adam Malik negarawan kita yang hanya mengenyam pendidikan HIS (Hollands Inlands School) setingkat SD tetapi sangat disegani dan mendapat pengakuan politisi dunia hingga pernah dipercaya sebagai Ketua Majelis Umum PBB, suatu jabatan sangat terhormat.

Almarhum Soedjatmoko walau pun DO dari Geneeskundige Hooge School (Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran) Jakarta, siapa yang meragukan tingkat kemampuan intelektual beliau dengan karya buku-bukunya yang sangat ilmiah dan bermutu ? bahkan pengakuan dunia membuktikan dengan pengangkatan beliau sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo, sampai dua masa jabatan.

Sayang, belakangan ini banyak para elite, paranormal, para preman sampai-sampai penjual ayam goreng melecehkan bangsa sendiri dengan membeli gelar doktor cepat saji (instan). Lebih konyol lagi ada yang tidak malu-malu mencantumkan kata professor di depan namanya padahal seumur hidup tidak pernah mengajar di Perguruan Tinggi.

Profesor sama sekali bukan gelar akademik, tetapi merupakan jenjang jabatan pengajar di perguruan tinggi yang diangkat berdasarkan surat keputusan sebagaimana juga disebut Guru Besar, Hoogleraal (Belanda), University teacher of the High Grade (Inggris).

Pantaslah data UNDP terakhir menempatkan UDI (Human Development Index) Indonesia merosot di peringkat ke-112 sesudah Vietnam, bahkan di bawah Tunisia dan Afrika Selatan, sedang Singapura peringkat ke-29. Sangat menyedihkan.



F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


--------------

SIKAP PRESIDEN MEGAWATI
Dimuat di Majalah TEMPO, 4-10/11/2002.


Siti Mutiah Setiawati, dosen Fisipol Universitas Gajah Mada, intinya tidak setuju dengan ungkapan/istilah yang diucapkan oleh presiden kita, Megawati, seperti “bangsa setengah” atau “kabinet keranjang sampah” yang dianggap menjelek-jelekkan bangsa sendiri (TEMPO edisi 21-27 Oktober 2002).

Saya tergelitik menanggapi pendapat tersebut karena justru saya menilai ungkapan Presiden Megawatii tersebut sangatlah tepat, juga sebuah sikap yang jujur, bukan sebaliknya berpura-pura atau munafik.

Terminologi kata menjelek-jelekkan adalah mengatakan (lisan atau tulisan) hal yang baik menjadi sebaliknya atau tidak baik. Tapi kalau misalnya maling disebut pencuri, itu sama sekali bukan menjelek-jelekkan.

Menurut saya, kita ini sebagai bangsa memang sudah sangat jelek dari normaatau ukuran apa pun. Betapa tidak, tiap hari terjadi tindak kejahatan “barbarian” seperti pembunuhan dan pemerkosaan terhadap wanita, termasuk anak-anak, yang pelakunya adalah guru (guru agama), bahkan ayah kandung sendiri. Celakanya, kualitas dan kuantitasnya pun kian hari kian meningkat.


Koruptor, perampok bersetelan jas di gedung-gedung mewah, makinmerajalela dan belum pernah terungkap tuntas sampai masuk bui. Pejabat penyelenggara dana negara yang sudah divonis bersalah masih gentayangan tanpa rasa malu sedikit pun. Petinggi instansi penegak hukum yang jelas melakukan tindakan melawan hukum masih tetap menduduki jabatannya.

Kesimpulannya, tidak usah dijelek-jelekkan, bangsa ini memang sudah sangat jelek, sangan bobrok. Memang masih ada “manusia Indonesia yang bersih”, tapi justru malah disingkirkan karena dianggap tidak setia kawan dan melawan arus. Salut untuk mereka yang tetap ajek bersikap.


F.S. Hartono (Yogyakarta).
Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 08/12/2003


-----------------


posted by bambang  # 4:51 AM

Archives

11/01/2003 - 12/01/2003   12/01/2003 - 01/01/2004   04/01/2004 - 05/01/2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?